Saya yakin tak sedikit dari para pembaca sering mengikuti perdebatan
pemilihan kepala pemerintahan, baik tingkat gubernur maupun calon
presiden. Masih hangat, ya nggak begitu hangat sih, beberapa waktu lalu
menjelang pemilihan presiden telah lima kali diadakan debat Pilpres. Bagi yang mengikuti dan menyimak dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, pasti yang menjadi perdebatan serius adalah masalah data.
Data apapun itu bisa menjadi bahan perdebatan. Kemiskinan,
pengangguran, inflasi, perkembangan ekonomi, hingga luas wilayah Jawa
Tengah dan Malaysia, eh, menjadi topik yang menarik untuk
diperdebatkan. Jual beli dan saling lempar argumen dengan informasi
numerik dan fakta terpercaya menjadi momen yang ditunggu para penikmat
debat.
Ada yang tepat dan memberikan analisis mendalam dengan data. Namun
ada juga yang menggunakannya dengan tidak tepat. Mungkin ada pula yang
tidak menggunakan informasi dan dasar apapun dalam berargumen. Asal nyerocos aja.
Eh, sebentar. Sebelum lanjut, sebenarnya pada tau nggak sih BPS
itu apa? Pengalaman saya dan rekan-rekan saya di lapangan nih, masih
banyak yang belum tau apa itu BPS. Justru banyak yang mengira kami
ketika turun lapangan adalah petugas BPJS. Hfft. Memang sih hanya beda satu huruf, tapi mbok ya jangan gitu-gitu amat lah.
Jadi, kami warga BPS harus mengakui sih. Produk BPS memang tidak
dipakai secara langsung oleh masyarakat. Namun Pemerintah dan lembaga
terkait yang menggunakan data BPS sebagai bahan pijakan dalam memutuskan
suatu kebijakan.
Misalnya begini, BPS mengeluarkan informasi pengangguran di suatu
wilayah. Dalam data tersebut termasuk pula mencakup informasi mengenai
pengangguran menurut jenis kelamin, tingkat pendidikan, lapangan usaha,
hingga jumlah jam kerja. Kita sebagai masyarakat biasa mungkin hanya
cukup tau saja, “oh, jadi lulusan SMK banyak yang menganggur”, dan sebagainya. Namun, bagi Pemerintah data tersebut sangat penting loh.
Melalui
instansi terkait, misalnya dalam hal pengangguran adalah Kementerian
Ketenagakerjaan, akan memanfaatkan data lembaga kami untuk membuat suatu
kebijakan dalam rangka menindaklanjuti masalah pengangguran. Termasuk
disana, presiden dan DPR juga akan turut berperan dalam membuat
kebijakan tersebut.
Termasuk berbagai data lain seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi,
hingga inflasi. Pemerintah-lah yang lebih banyak memanfaatkannya. Ya
untuk masyarakat juga pada akhirnya. Jadi, mungkin itu menurut saya,
mengapa BPS kurang familiar di kalangan masyarakat. Kalau BPJS kan
hampir semua masyarakat bersentuhan langsung dengannya.
Namun kini, pelan-pelan bukan hanya Pemerintah saja yang memanfaatkan
data dari kami. Kalau dilihat fenomena yang terjadi belakangan ini,
muncul beberapa media-media saingannya mojok
online yang memaparkan isu-isu tertentu dengan fakta numerik.
Jurnalisme berbasis data, mungkin begitu. Apakah Mojok jadi salah
satunya, mungkin.
Hal itu sangatlah bagus, selain memberikan informasi berdasarkan
fakta di lapangan, tentunya secara tidak langsung mengenalkan
produk-produk BPS kepada masyarakat, para pembaca media daring khususnya. Bagi yang tergelitik, mungkin ada yang sampai iseng-iseng membuka website BPS untuk melihat informasi dan fakta yang lebih lengkap. Kalian gitu nggak?
Namun bagi saya, dan kami para warga BPS, kebahagiaan yang hqq, apabila produk yang kita hasilkan bermanfaat bagi pihak lain. Saya pribadi merasa senang dan bangga gimana gitu
misalnya dalam acara atau berita di televisi menyebutkan informasi yang
bersumber dari data BPS. Ya bagaimana tidak senang, layaknya orang
jualan, ya itulah produk BPS, artinya jualannya laku.
Sebaliknya, kejengkelan akan muncul ketika ada tokoh dalam berargumen
tanpa menggunakan fakta. Lebih parah lagi, tidak mempercayai lembaga
penyedia data resmi Pemerintah dan lebih percaya pada setan gondrong. Padahal untuk mengakses data tersebut sangat mudah dan gratis loh, buka website BPS. Jangan web mojok melulu.
Sebagai bahan informasi nih, BPS dalam mengumpulkan berbagai data
seperti pengangguran, kemiskinan, hingga pertumbuhan ekonomi dilakukan
secara serentak di seluruh Indonesia. Semua turun ke lapangan, datang ke
rumah tangga hingga pelosok negeri. Bagi BPS, data yang akurat dan
independen adalah harga mati. BPS tidak dapat diintervensi oleh
siapapun.
Itulah
mengapa, sakit rasanya jika ada yang mengatakan data BPS adalah data
pesanan Pemerintah. Atau, data BPS tidak sesuai kondisi lapangan.
Sini-sini, yang mengatakn seperti itu saya ajak mencari data hingga
menyeberang ke seberang pulau. Kebetulan saya tugas di Maluku, wilayah
dengan ribuan gugusan pulau. Asyik gak tuh, bekerja sambil berpetualang.
Satu lagi, setiap 10 tahun sekali BPS juga melakukan yang namanya
Sensus Penduduk. Tahu sensus kan, pendataan secara menyeluruh terhadap
suatu populasi. Kasarnya, melakukan pencatatan terhadap seluruh penduduk
yang tinggal di Indonesia. Dalam waktu dekat BPS akan melakukan itu,
yaitu di tahun 2020. Siap-siap ya untuk dicatat dan jangan pelit-pelit
memberikan informasi. Sesuai slogan Sensus Penduduk 2020, Anda Tercatat, Data Akurat!
Artikel dimuat di Terminal Mojok, 14 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar