Rabu, 07 Agustus 2019

Pengertian Data, Cara Asyik Belajar Statistika

Banyak yang bilang, belajar Statistika itu mengerikan, seram. Bahkan tak jarang Mata Kuliah Statistika menjadi momok bagi setiap mahasiswa yang mempelajarinya.

Baiklah, mari kita perlahan mematahkan anggapan tersebut. Bahwasanya belajar Statistika tak semenyeramkan seperti yang dibayangkan.

Dalam memahami Statistika kita tak akan jauh berbicara mengenai angka dan data. Data itu sendiri memiliki arti sebagai sesuatu yang dianggap dapat memberikan informasi tentang suatu keadaan atau persoalan.

Sebagai contoh, beberapa siswa di sebuah kelas menuliskan ukuran sepatunya. Ada yang memiliki ukuran 35, 37, 40, dan 42. Nah, kumpulan ukuran sepatu beberapa siswa tersebut merupakan sebuah data. Ada informasi yang dapat kita peroleh dari angka-angka tersebut.

Contoh lainnya, di suatu desa ada beberapa keluarga. Masing-masing keluarga memiliki jumlah anggota keluarga yang berbeda. Suatu ketika, ketua RT mengumpulkan informasi mengenai banyaknya anggota keluarga dari setiap rumah. Banyaknya anggota keluarga dari setiap rumah itulah yang dinamakan data.

Oke, sampai sini sudah paham kan apa yang dinamakan data.

Mari kita lanjut. Kita akan membahas penggolongan data. Menurut sifatnya, data dibagi menjadi dua jenis, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.

Data kualitatif yaitu, data yang tidak berupa angka. Misalnya, penilaian terhadap kecantikan seseorang atau warna kesukaan beberapa siswa di kelas, dan sebagainya yang tidak berupa angka.

Sedangkan data kuantitatif yaitu data yang berupa angka. Misalnya, data ukuran sepatu siswa, data nilai ujian, dan sebagainya.

Oke, sampai disini dulu kita belajar dan mengenali data. Untuk belajar lebih lanjut mengenai Statistika, pemahaman mengenai data merupakan hal yang paling mendasar. Pastinya, Statistika tidak mengerikan asal kita enjoy dan asyik mempelajarinya. 


Referensi : Buku Matrikulasi Calon mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Revisi Ke-1, Juni 2011

SDG's dan Upaya Penurunan Kemiskinan di Indonesia

Sustainable Development Goals (SDG's) merupakan lanjutan dari program Milennium Development Goals (MDG's) yang selesai pada 2015. Dengan diluncurkannya SDG's, diharapkan dapat meneruskan keberhasilan 8 program MDG's dalam menangani masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di dunia. SDG's memiliki 17 tujuan dan 169 capaian yang diagendakan dalam periode 2015 hingga 2030.

Tujuh belas tujuan SDG's tersebut adalah tanpa kemiskinan; tanpa kelaparan; hidup sehat dan kesejahteraan; kualitas pendidikan; kesetaraan gender; air bersih dan sanitasi layak; pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; industri, inovasi, dan infrastruktur; berkurangnya kesenjangan; kota dan pemukiman yang berkelanjutan; konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; penanganan perubahan ikim; ekosistem laut; ekosistem darat; perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh; dan, kemitraan untuk mencapai tujuan.

Menarik memang jika melihat tujuan SDG's yang sangat luar biasa. Perlu dukungan dari seluruh elemen masyarakat dunia baik di tingkat pemerintahan hingga masyarakat bawah. Kampanye dan sosialisasi mengenai SDG's harus semakin digencarkan. Semua harus yakin bahwa semangat perubahan itu nyata dan memang benar adanya.

Salah satu tujuan yang masih menjadi masalah hampir seluruh negara di dunia yaitu mengentaskan kemiskinan, tujuan SDG's urutan pertama. Kemiskinan masih dan akan selalu dipandang sebagai masalah yang serius bagi negara-negara di dunia, khususnya negara berkembang. Kemiskinan tidak hanya merujuk pada dimensi ekonomi saja.

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Sebagai contoh di negara Ghana, seorang laki-laki dikatakan miskin apabila ia tidak memiliki aset material. Sedangkan untuk perempuan, kemiskinan yaitu suatu kondisi jika terjadi kerawanan pangan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memandang kemiskinan bukan dari sisi finansial, melainkan suatu kondisi dimana hilangnya pilihan dan kesempatan, pelanggaran martabat manusia, dan kurangnya kapasitas untuk berpartisipasi secara efektif di lingkungan sosial.

Kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah yang serius sejak era pasca-kemerdekaan hingga saat ini. Pengukuran kemiskinan di Indonesia dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Menurut BPS kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan dengan pendekatan pengeluaran. Penduduk dikatakan miskin apabila memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Sejalan dengan tujuan SDG's, BPS memiliki peran dalam menyediakan data-data yang selanjutnya digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan program pembangunan berkelanjutan. Terkait tujuan SDG's yang pertama, BPS telah menyediakan data terkait kemiskinan. Data tersebut diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. Berdasarkan data yang diperoleh, kemiskinan di Indonesia secara statistik mengalami penurunan. Pada semester pertama 2015 tercatat persentase kemiskinan di Indonesia yaitu 11,22 persen. Angka tersebut turun 0,09 poin di semester kedua, dengan persentase kemiskinan 11,13 persen.

Pada 2016 persentase kemiskinan di Indonesia kembali mengalami penurunan. Pada semester pertama 2016, persentase kemiskinan di Indonesia sebesar 10,86 persen dan semester kedua sebesar 10,70 persen. Hingga pada semester pertama 2018 tercatat angka kemiskinan di Indonesia sebesar 9,82 persen.

Berdasarkan angka yang dirilis BPS, perlu ditekankan bahwa wilayah perdesaan masih mendominasi tingginya persentase kemiskinan. Pada periode terakhir (semester 1-2018), persentase kemiskinan di perdesaan sebesar 13,20 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 7,02 persen. Dari data tersebut terlihat masih terdapat ketimpangan dalam segi sosial, ekonomi, hingga infrastruktur dan teknologi yang berimbas pada tingginya angka kemiskinan di perdesaan.

Program-program pembangunan khususnya di perdesaan perlu ditingkatkan dan diawasi secara berkelanjutan untuk mengurangi ruang ketimpangan. Pemerintah bukannya tinggal diam. Program dana desa yang diluncurkan diharapkan mampu mengurangi ketimpangan kesejahteraan di wilayah desa dan kota. Efektif atau tidaknya menjadi tanggung jawab pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa. Pemerintah setingkat di atasnya juga berperan dalam pengawasan penggunaan dana desa tersebut.

Sudah banyak contoh wilayah perdesaan yang berhasil dalam penerapan dana desa. Mulai dari Desa Ponggok dengan wisata tirtanya di Klaten, hingga program BUMDesMart di Desa Sidorejo, Kabupaten Musi Banyuasin yang beromset ratusan juta rupiah setiap bulannya.

Keberhasilan pengelolaan dana desa secara tidak langsung memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat di wilayahnya. Kesempatan kerja menjadi terbuka dengan adanya peluang modal usaha maupun kebutuhan akan tenaga kerja dalam melaksanakan pembangunan desa. Setelah itu terpenuhi, bukan tidak mungkin kemiskinan dan ketimpangan di wilayah perdesaan akan semakin surut. Masyarakat secara tidak langsung juga turut membantu pemerintah dalam menyukseskan tujuan SDG's di Indonesia, dan bersama-sama masyarakat dunia menuju kehidupan dunia yang lebih baik dan sejahtera.

Diterbitkan di detik.com pada 23 November 2018