Rabu, 22 Juli 2020

Membangunkan Maluku dari Tidur Panjang

Alam kurang adil yang seperti apa? Birunya samudera beserta jutaan potensi di bawahnya telah ia sediakan. Ribuan gugusan pulau membentang dari Tanah Seram hingga Tanimbar. Belum lagi, keragaman budaya serta peninggalan kekayaan alam nan melimpah. Hingga, potensi dan harapan kemajuan bangsa pada pundak 1,7 juta penduduk Negeri Seribu Raja, Maluku.

Ironisnya, dengan segala kekayaan yang dimiliki, seolah Maluku sedang "tertidur dalam gelap". Apa yang disediakan alam belum sepenuhnya mampu dioptimalkan. Tak heran jika Maluku masih menjadi penghuni empat besar provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Meski mengalami penurunan, namun angka 17,69 persen pada periode Maret 2019 masih terlampau tinggi jika dibandingkan angka kemiskinan nasional yang hanya sebesar 9,41 persen.

Dari sisi kualitas pembangunan sumber daya manusia, capaian Maluku juga masih dibawah angka nasional. Tahun 2018, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Maluku berada pada titik 68,87 poin yang berkategori sedang. Sementara IPM Indonesia pada waktu yang sama sebesar 71,39 yang berkategori tinggi.

Kedua indikator tersebut seakan menegaskan kalimat pembuka, alam kurang adil seperti apa? Dengan begitu banyak potensi, data justru berkata lain. Apa kita sebagai generasi muda akan tinggal diam? Membiarkan Maluku berjalan dalam kegelapan tanpa pijar nyala benih-benih harapan?

Menemukan Solusi

Memang bukan pekerjaan mudah untuk mengubah itu semua. Perlu ditemukan solusi mengapa Maluku masih menjadi penghuni the big four wilayah miskin di Indonesia. Jika melihat hasil pendataan Susenas Maret 2019, kemiskinan di Maluku masih didominasi wilayah perdesaan. Bahkan kemiskinan di perdesaan lima kali lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan.

Menurut BPS, persentase penduduk miskin di perdesaan Maluku pada Maret 2019 adalah sebesar 26,83 persen. Sementara di perkotaan hanya 5,84 persen. Secara sekilas perbedaan kemiskinan antara di desa dan kota tampak begitu mencolok. Sepertinya terdapat masalah yang cukup serius pada wilayah perdesaan di Maluku sehingga masih mencatatkan tingkat kemiskinan yang tinggi.

Padahal program pemerintah pusat dalam balutan Nawacita begitu jelas memprioritaskan permasalahan di perdesaan. Salah satu poin Nawacita berbunyi, "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan." Kalimat tersebut begitu jelas mengatakan pentingnya membangun negara yang dimulai dengan membangun desa.

Di Maluku sendiri berdasarkan pendataan Potensi Desa (Podes) 2018, masih terdapat 558 (46,42 persen) desa yang berstatus desa tertinggal. Sementara sebanyak 613 (51 persen) desa berstatus berkembang dan hanya 31 (2,58 persen) desa yang berkategori mandiri.

Jika pemerintah mau berkaca pada data yang ada, semestinya cukup jelas permasalahan mana dulu yang perlu mendapat perhatian lebih. Membangun desa merupakan salah satu solusi yang dapat diandalkan. Program dana desa dengan gelontoran ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap tahun harus benar-benar diawasi dan dikawal penggunaannya agar tepat sasaran serta menuai hasil yang maksimal.

Alangkah baiknya program dana desa tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan produktif dan berskala infrastruktur penunjang perekonomian masyarakat desa. Karena infrastruktur yang memadai akan mendongkrak perekonomian. Imbasnya kualitas kehidupan manusia dapat terangkat, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selain peningkatan infrastruktur di desa, pembangunan kualitas hidup manusia juga patut mendapat perhatian lebih. Seberapa besar keberhasilan pembangunan manusia diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Ketersediaan data IPM yang dikeluarkan BPS setiap tahunnya seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah untuk mengevaluasi kinerjanya selama ini.

Pemerintah perlu menindaklanjuti capaian dari masing-masing komponen penyusun IPM, yaitu pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak. Pendidikan memang sudah menjadi harga mati bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Melalui pendidikan, gerbang menuju kesejahteraan di masa mendatang akan semakin terbuka. Bukan bualan semata, data berbicara keterkaitan pendidikan dengan tingkat kesejahteraan.

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2019, lulusan universitas dengan jam kerja selama 38 jam per minggu memiliki rata-rata upah sebulan sebesar Rp 4.363.717,00. Hal ini sangat timpang dengan lulusan SD yang hanya diberi rata-rata upah sebulan sebesar Rp 1.814.543,00 dengan rata-rata jam kerja selama 43 jam seminggu. Data tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pula peluang untuk memperoleh penghasilan yang memadai.

Selain pendidikan, hal yang tak kalah penting adalah kondisi kesehatan masyarakat. Pembangunan sarana kesehatan hingga ke wilayah pelosok sudah semestinya dilakukan. Jangan sampai masih terdengar adanya masyarakat yang mengalami kesulitan berobat hanya karena kesulitan mencapai sarana kesehatan, atau bahkan belum tersedianya fasilitas kesehatan di sekitar masyarakat.

Penggunaan Data

Jika pemerintah jeli dan sadar akan data, bukanlah hal sulit mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di Maluku bahkan nasional. Data dapat digunakan sebagai pijakan dalam merumuskan suatu kebijakan. Penggunaan data yang tidak tepat akan menghasilkan kebijakan yang salah arah.
Perhatian dan apresiasi sudah semestinya diberikan kepada para pahlawan data. Bukan apa-apa, mereka turut serta membangun negara dalam "senyap", mengumpulkan data yang akurat untuk kepentingan pembangunan. Di era saat ini, bukan hanya kekayaan alam saja yang menjadi komoditas pemenuhan kebutuhan manusia. Di sisi lain, data telah menjelma menjadi komoditas baru untuk menyongsong era industri dan teknologi.

BPS sebagai instansi penyedia data sudah semestinya dan wajib menyediakan data yang berkualitas. Anggaran negara untuk kegiatan pengumpulan data juga harus ditingkatkan. Memang mengumpulkan data itu bukan suatu perkara mudah dan murah. Namun perlu diingat, membangun tanpa data justru akan lebih mahal. Kerugian negara apabila melangkah tanpa berpijak pada data tak akan ternilai harganya

 Dimuat di detik.com , Jumat, 4 Oktober 2019

Senin, 27 Januari 2020

Kredibilitas Data Menyehatkan Demokrasi

Kurang dari dua bulan menjelang hari penentuan Pemilu 2019, aroma panas kian memuai. Narasi-narasi negatif mendominasi. Kekuasaan seolah melumpuhkan akal sehat dan mengedepankan ambisi golongan.

Demokrasi harus membuat masyarakat semakin cerdas. Bukan sebaliknya. Cara lama untuk menarik hati dan simpati rakyat harus ditinggalkan. Apalagi melampirkan aroma kebencian, berita bohong, hingga penggunaan data yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dua kali debat calon presiden/wakil presiden telah dijalani. Setidaknya ada upaya edukasi kepada masyarakat melalui panggung yang disediakan. Namun, sudahkah cukup efektif? Atau, justru semakin menunjukkan kemunduran dalam demokrasi di negara kita?
Harusnya tidak sulit meyakinkan masyarakat akan argumen-argumen yang ditawarkan dalam pelaksanaan debat. Cukup pegang data dari instansi yang kredibel. Data yang kredibel tentunya dapat dipertanggungjawabkan, jelas asal-usul dan metodologi pengumpulannya, hingga memiliki acuan dan standar yang sama dengan data lain secara internasional.

Kekeliruan dalam memaparkan data dapat berdampak fatal. Salah satu yang kentara dan pernah hangat yaitu terkait data pangan, dalam hal ini adalah beras. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Oktober 2018 merilis koreksi data pangan yang dikeluarkan Kementerian Pertanian (Kementan). BPS mencatat dalam setahun besarnya luas panen padi yaitu sebesar 10,9 juta Ha. Jauh di bawah data Kementan yang mencatatkan 15,9 juta Ha. Kekeliruan semacam ini berdampak pada pengambilan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan merugikan negara.

Contoh lain pemaparan data yang tidak sesuai dapat dilihat dalam dua episode debat yang telah dilaksanakan. Pada debat kedua, capres petahana Joko Widodo mengeluarkan pernyataan bahwa dalam tiga tahun terakhir tidak terjadi kebakaran lahan hutan dan lahan gambut. Faktanya sejak 2015, meski angkanya turun, kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di beberapa wilayah.

Menurut data dari Badan Restorasi Gambut, pada 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas 2,6 juta Ha. Sementara, pada 2016 menurun menjadi 438 ribu Ha. Angka tersebut kembali turun pada 2017 menjadi 165 ribu Ha, dan pada 2018 seluas 195 ribu Ha hutan dan lahan mengalami kebakaran.

Pun halnya dengan kandidat penantang, dalam debat pertama terdapat pernyataan yang dianggap keliru terkait data. Capres Prabowo Subianto mengatakan bahwa Jawa Tengah lebih besar daripada Malaysia. Meski pernyataan tersebut terlihat ambigu, namun banyak yang menganggap Prabowo mengeluarkan pernyataan yang kurang tepat.

Faktanya, BPS Provinsi Jawa Tengah mencatat luas Jateng sebesar 32.544,12 kilometer persegi. Sedangkan menurut Departemen of Statistics Malaysia, luas negara tersebut adalah 330.803 kilometer persegi. Sepuluh kali lipat lebih dibandingkan luas wilayah Jawa Tengah.Pernyataan-pernyataan dengan menggunakan data yang keliru akan menyesatkan. Apalagi dikeluarkan oleh seorang calon kepala negara. Alih-alih mendewasakan masyarakat dalam berdemokrasi, justru menimbulkan stigma negatif. Kesalahan penggunaan data jelas menjadi celah bagi pihak yang berseberangan untuk menyerang.

Gampangnya, lawan akan senang jika yang dihadapi "terpeleset" dengan argumen yang keliru. Sehatkah demokrasi seperti itu? Jelas tidak. Harusnya, kesalahan dikoreksi dengan bijak, bukan memperkeruh keadaan dengan melontarkan serangan pada celah yang ada.

Politisasi DataDi Indonesia terdapat banyak lembaga penyedia data. Hampir seluruh instansi, baik pemerintah maupun non pemerintah harusnya memiliki dan mampu menyediakan data. Namun, pemerintah telah mempercayakan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyediaan data statistik di Indonesia yaitu kepada BPS, melalui UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Sementara, lembaga/instansi lain tetap boleh mengeluarkan data, yang kemudian disebut data sektoral.

Sebagai lembaga pemerintah, bukan berarti data BPS akan menuruti keinginan pihak-pihak tertentu di pemerintahan. Di sinilah yang membedakan data BPS dengan data-data pesanan untuk kepentingan politik. Misalnya data elektabilitas pasangan calon kepala daerah/kepala negara.

Lembaga survei yang berafiliasi dengan pasangan tertentu jelas akan mengeluarkan data yang menguntungkan pemesan data. Dalam artian, data yang dihasilkan memiliki angka yang bagus bagi pihak pemesan dan cenderung menjatuhkan lawan politiknya. Metodologi dan kecukupan sampel dari data tersebut kadang juga tidak jelas, sehingga biasnya kemungkinan sangat besar.

Bisa jadi survei hanya dilakukan terhadap mayoritas masyarakat yang mendukung salah satu pihak saja. Padahal dalam kaidah penarikan sampel, banyak sekali kondisi-kondisi dan persyaratan suatu sampel dapat dikatakan mewakili populasi. Sebagai contoh sederhana, untuk mengetahui rata-rata usia penduduk Indonesia, tentunya sampel yang diambil harus mencakup seluruh penduduk dari berbagai jenjang usia. Bukan hanya balita saja yang dijadikan sampel. Atau, hanya penduduk usia lanjut saja yang menjadi sampel. Jika seperti itu, jelas data yang dihasilkan tidak akan menggambarkan rata-rata usia penduduk Indonesia.

Jangan sampai karena ketidaktahuan masyarakat, dengan seenaknya suatu lembaga melakukan survei dan mengeluarkan data keliru untuk kepentingan politik. Bisa jadi justru data yang dikeluarkan menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat. Dengan kata lain jangan menodai kesakralan data dan statistik demi ambisi politik semata.

Penggunaan data yang kredibel tidak terkekang pada debat pemilihan kepala pemerintahan saja. Dalam keseharian, sangat disarankan masyarakat membiasakan diri bersahabat dengan data. Dengan begitu bukan tidak mungkin pembodohan publik dapat diminimalisasi. Gatalnya jari tangan untuk menekan tombol share terhadap berita bohong dapat dikurangi. Ujaran kebencian akan semakin menipis. Dan, yang paling penting masyarakat akan disuguhkan pesta demokrasi yang lebih sehat.

Perang argumen dan data yang benar tanpa menjatuhkan lawan suatu saat dapat kita nikmati dalam perhelatan pesta demokrasi kita. Setidaknya dimulai dari diri kita masing-masing membiasakan menggunakan data-data yang kredibel dan akurat.

Dimuat di detik.com pada 28 Februari 2019