Alam kurang adil yang seperti apa? Birunya samudera beserta jutaan
potensi di bawahnya telah ia sediakan. Ribuan gugusan pulau membentang
dari Tanah Seram hingga Tanimbar. Belum lagi, keragaman budaya serta
peninggalan kekayaan alam nan melimpah. Hingga, potensi dan harapan
kemajuan bangsa pada pundak 1,7 juta penduduk Negeri Seribu Raja,
Maluku.
Ironisnya, dengan segala kekayaan yang dimiliki, seolah
Maluku sedang "tertidur dalam gelap". Apa yang disediakan alam belum
sepenuhnya mampu dioptimalkan. Tak heran jika Maluku masih menjadi
penghuni empat besar provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Meski
mengalami penurunan, namun angka 17,69 persen pada periode Maret 2019
masih terlampau tinggi jika dibandingkan angka kemiskinan nasional yang
hanya sebesar 9,41 persen.
Dari sisi kualitas pembangunan sumber
daya manusia, capaian Maluku juga masih dibawah angka nasional. Tahun
2018, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Maluku berada pada titik 68,87
poin yang berkategori sedang. Sementara IPM Indonesia pada waktu yang
sama sebesar 71,39 yang berkategori tinggi.
Kedua indikator
tersebut seakan menegaskan kalimat pembuka, alam kurang adil seperti
apa? Dengan begitu banyak potensi, data justru berkata lain. Apa kita
sebagai generasi muda akan tinggal diam? Membiarkan Maluku berjalan
dalam kegelapan tanpa pijar nyala benih-benih harapan?
Menemukan Solusi
Memang bukan pekerjaan mudah untuk mengubah itu semua. Perlu ditemukan solusi mengapa Maluku masih menjadi penghuni the big four
wilayah miskin di Indonesia. Jika melihat hasil pendataan Susenas Maret
2019, kemiskinan di Maluku masih didominasi wilayah perdesaan. Bahkan
kemiskinan di perdesaan lima kali lebih tinggi dibandingkan wilayah
perkotaan.
Menurut BPS, persentase penduduk miskin di perdesaan
Maluku pada Maret 2019 adalah sebesar 26,83 persen. Sementara di
perkotaan hanya 5,84 persen. Secara sekilas perbedaan kemiskinan antara
di desa dan kota tampak begitu mencolok. Sepertinya terdapat masalah
yang cukup serius pada wilayah perdesaan di Maluku sehingga masih
mencatatkan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Padahal program
pemerintah pusat dalam balutan Nawacita begitu jelas memprioritaskan
permasalahan di perdesaan. Salah satu poin Nawacita berbunyi, "Membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan." Kalimat tersebut begitu jelas mengatakan
pentingnya membangun negara yang dimulai dengan membangun desa.
Di
Maluku sendiri berdasarkan pendataan Potensi Desa (Podes) 2018, masih
terdapat 558 (46,42 persen) desa yang berstatus desa tertinggal.
Sementara sebanyak 613 (51 persen) desa berstatus berkembang dan hanya
31 (2,58 persen) desa yang berkategori mandiri.
Jika pemerintah
mau berkaca pada data yang ada, semestinya cukup jelas permasalahan mana
dulu yang perlu mendapat perhatian lebih. Membangun desa merupakan
salah satu solusi yang dapat diandalkan. Program dana desa dengan
gelontoran ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap tahun harus
benar-benar diawasi dan dikawal penggunaannya agar tepat sasaran serta
menuai hasil yang maksimal.
Alangkah baiknya program dana desa
tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan produktif dan berskala
infrastruktur penunjang perekonomian masyarakat desa. Karena
infrastruktur yang memadai akan mendongkrak perekonomian. Imbasnya
kualitas kehidupan manusia dapat terangkat, mulai dari kesehatan,
pendidikan, hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selain
peningkatan infrastruktur di desa, pembangunan kualitas hidup manusia
juga patut mendapat perhatian lebih. Seberapa besar keberhasilan
pembangunan manusia diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Ketersediaan data IPM yang dikeluarkan BPS setiap tahunnya seharusnya
menjadi cermin bagi pemerintah untuk mengevaluasi kinerjanya selama ini.
Pemerintah
perlu menindaklanjuti capaian dari masing-masing komponen penyusun IPM,
yaitu pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak. Pendidikan memang
sudah menjadi harga mati bagi peningkatan kualitas hidup manusia.
Melalui pendidikan, gerbang menuju kesejahteraan di masa mendatang akan
semakin terbuka. Bukan bualan semata, data berbicara keterkaitan
pendidikan dengan tingkat kesejahteraan.
Berdasarkan data Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2019, lulusan universitas
dengan jam kerja selama 38 jam per minggu memiliki rata-rata upah
sebulan sebesar Rp 4.363.717,00. Hal ini sangat timpang dengan lulusan
SD yang hanya diberi rata-rata upah sebulan sebesar Rp 1.814.543,00
dengan rata-rata jam kerja selama 43 jam seminggu. Data tersebut
mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar
pula peluang untuk memperoleh penghasilan yang memadai.
Selain
pendidikan, hal yang tak kalah penting adalah kondisi kesehatan
masyarakat. Pembangunan sarana kesehatan hingga ke wilayah pelosok sudah
semestinya dilakukan. Jangan sampai masih terdengar adanya masyarakat
yang mengalami kesulitan berobat hanya karena kesulitan mencapai sarana
kesehatan, atau bahkan belum tersedianya fasilitas kesehatan di sekitar
masyarakat.
Penggunaan Data
Jika pemerintah
jeli dan sadar akan data, bukanlah hal sulit mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ada di Maluku bahkan nasional. Data dapat
digunakan sebagai pijakan dalam merumuskan suatu kebijakan. Penggunaan
data yang tidak tepat akan menghasilkan kebijakan yang salah arah.
Perhatian
dan apresiasi sudah semestinya diberikan kepada para pahlawan data.
Bukan apa-apa, mereka turut serta membangun negara dalam "senyap",
mengumpulkan data yang akurat untuk kepentingan pembangunan. Di era saat
ini, bukan hanya kekayaan alam saja yang menjadi komoditas pemenuhan
kebutuhan manusia. Di sisi lain, data telah menjelma menjadi komoditas
baru untuk menyongsong era industri dan teknologi.
BPS sebagai
instansi penyedia data sudah semestinya dan wajib menyediakan data yang
berkualitas. Anggaran negara untuk kegiatan pengumpulan data juga harus
ditingkatkan. Memang mengumpulkan data itu bukan suatu perkara mudah dan
murah. Namun perlu diingat, membangun tanpa data justru akan lebih
mahal. Kerugian negara apabila melangkah tanpa berpijak pada data tak
akan ternilai harganya
Dimuat di detik.com , Jumat, 4 Oktober 2019